Lanjut ke konten

Pin Siong, Pak Man, Progo, Oom Pan, Bu Sri, Oom Djing…

Sampai akhir 70-an, rumah makan enak di Salatiga kok sepertinya terbatas. Mungkin karena kota kecil cuma satu kecamatan sembilan kelurahan. Yang top antara lain Pin Siong (nama pemiliknya kalau tak salah Hoo Ping Wong; Jalan Pemotongan), Pak Man (saya tak tahu siapa nama lengkapnya; pindah-pindah tempat, sekarang di Jalan Sudirman seberang tangsi), bakmi  di Jalan Progo, Oom Pan (Jalan Sudirman), Bu Sri (Jalan Sudirman), dan Oom Djing (Jalan Pemotongan).

Mereka penyedia masakan Cina yang lumrah: bakmi, capcay (capjae), dan fuyonghai (buyonghai). Tentu ada pula nasi goreng. Dari yang saya sebut tadi, dua sudah tutup sejak tahun 80-an, yaitu Bu Sri (sebelah Apotek Intrafarm) dan Oom Pan (dekat eks-Toko Buyut). Saya tak tahu pasti penyebab tutupnya. Paling banter cuma dengar-dengar dan belum tentu benar. Baca selengkapnya…

Dhényom, Pathang, Calam, Ngicu

Saya tanya sebagian anak muda Salatiga. Mereka tak lagi mengenal kata “dhényom“, “pathang“, “calam” dan “ngicu“. Hal sama saya tanyakan kepada beberapa anak muda Semarang, wilayah asal kata-kata itu. Ternyata sampel saya juga tak mengenal.

Temuan sementara ini berbeda dari basa walikan Yogya, yang juga berasal dari penukaran hanacaraka (tetapi berbeda pengurutan), yang hingga hari ini masih hidup. Orang Yogya, dan pendatangnya, tak hanya tahu “dagadu” (matamu) dan “dab” (mas) melainkan juga “nyothé” (kowé).

Dhényom” (wédok, perempuan), “pathang (lanang, lelaki), “calam” (bapak), dan “ngicu” (ibu), adalah contoh penukaran posisi hanacaraka dengan rumus seperti ini…

• urutan baku:
ha na ca ra ka / da ta sa wa la / pa dha ja ya nya / ma ga ba tha nga

• penukaran suku kata versi Semarang:

ha na ca ra ka
nga tha ba ga ma

da ta sa wa la
nya ya ja dha pa

Contoh cara penerapan: ha saling bertukar posisi dengan nga, lalu ka dengan ma; da dengan nya, dan la dengan pa. Maka “ba-pak” menjadi “ca-lam“, dan “i-bu” menjadi “ngi-cu“. Sedangkan “ro-kok” menjadi “go-mom“.

Pengembang “bahasa gali” (bahasa preman; gali adalah akronim “gabungan anak liar”, atau “geng anak liar”) versi Jawa itu adalah anak-anak muda Semarang pada awal 70-an. Karena Salatiga adalah kota kecil di antara Semarang dan Surakarta maka bahasanya pun menyerap dari dua wilayah itu. Waktu saya masih SD-SMP, anak-anak yang tak paham kamus “bahasa gali” dianggap ketinggalan zaman. 😀

Dalam perjalanan waktu, kata-kata itu tak laku sehingga terlupakan. Ibarat jajanan, tak lagi nikmat di lidah pengudapnya. Tetapi kenapa yang basa walikan Yogya bisa bertahan? Jawaban paling gampang: karena masih dituturkan. Kenapa masih diucapkan karena masih dianggap enak. Kenapa masih dianggap mirasa, silakan Anda berpendapat. 🙂

Catatan:
Generator basa walikan Yogya bisa dicoba dari Dagadukan Katamu, karya Rony Lantip.

Pabrik Es Batu

Ahad siang ini panas. Bolak-balik saya mencampurkan minuman bersoda (limun) dengan es batu. Lalu ingatan saya pun segera terlempar ke Salatiga. Ingatan tentang pabrik es batu. Sulit sekali bagi saya mengingat ada berapa pabrik es. Waktu itu sebutan lengkapnya kalau bukan “pabrik es batu” ya “pabrik es balok”.

Untuk sementara yang teringat adalah pabrik es di Jalan Tanjung dan Jalan Kotamadya (Jalan Sukowati) dekat bioskop Ria (Madya). Oh ya, kalau tak salah ada lagi di Jalan Ksatrian (Ahmad Yani) dan satu lagi di Jalan Bringin (Pattimura). Yang di Jalan Tanjung pabriknya tak punya halaman, bangunannya melebar seolah memepet jalan. Yang di Jalan Kotamadya pabriknya berhalaman luas, berupa tanah yang berdebu saat kemarau. Saya sebut luas karena sepeda bisa melakukan aneka putaran di sana. Bangunan rumahnya separo tembok separo papan.

Saya menduga semua rumah makan dan penjual minuman mengambil es dari pabrik-pabrik itu. Dan ada satu hal yang saya ingat: karena sampai awal 70-an kulkas masih barang mewah maka banyaklah keluarga yang membutuhkan es harus membeli es batu ke pabrik. Termasuk keluarga saya. Baca selengkapnya…

Nyuklun, Ungkapan Salatiga

Barusan Yusro, orang Kalioso yang dulunya tinggal di Jetis itu, mengucapkan “nyuklun“. Aha! Kata itu sudah lama terlupakan oleh saya, jarang saya ucapkan. Entahlah apakah orang Salatiga sekarang masih mengucapkannya.

Nyuklun berarti wagu, ora wangun, tidak pas, dan kadang juga out of date. Meskipun begitu nyuklun tidak sama dengan jelek. Dulu ketika saya masih kecil, istilah ini diterapkan untuk gaya atau penampilan seseorang.

Saya tak tahu apakah di luar Salatiga kata nyuklun juga laku. Kalau yang mengenal kata itu hanya orang Salatiga lama berarti mereka memang “nyuklun tenan“.