Lanjut ke konten

Dari Dokar, Bajingan, sampai Benggol Kècu

19 Agustus 2010

Sebagian orang Salatiga ada yang menyebut dokar sebagai andong. Jadi selain kata benda “dokar” dan kata kerja “ndokar”, ada pula “andong” dan “ngandong”. Padahal Salatiga tak punya andong. Yang ada hanya dokar. Roda andong itu empat, seperti di Yogyakarta — bahkan dulu kuda setiap andong itu dua, tapi karena mahal akhirnya hanya dihela seekor kuda.

dokar salatiga

Dokar Salatiga, 2009 |© Flickr/Salatiga (dimuat tanpa izin)

Dokar mayor

Dokar Salatiga berbeda dari bendi maupun sado. Dokar lebih tinggi. Jok belakang saling berhadapan. Waktu kecil saya paling senang duduk di depan di samping Pak Kusir, dengan bonus boleh mencoba bel injak “ting-teng” dan dikentuti kuda.

Selain dokar yang tinggi, di Salatiga ada juga dokar yang rendah sehingga terkesan lebar. Seingat saya orang-orang menyebutnya “dokar mayor” atau “dokar mayer”. Mengapa dinamai demikian saya tidak tahu. Teman saya, namanya Trusto Yuwono, beserta keluarganya (bapaknya bernama Pak Djadjuli), yang dulu tinggal dekat Kridanggo (sebelum pindah ke Ringinawe), termasuk pelanggan dokar mayor ini.

Tentang dokar, saya punya pengalaman tak terlupakan. Ketika masih kelas satu SD saya nggandul dokar. Sang kusir menghardik, “Ayo mudhun, Lé!” Ayo turunlah kau, Nak. Saya ndableg. Sang kusir jengkel. Saya lupa satu hal: jangkauan ujung cambuk itu panjang, dari depan bisa menyabet belakang. Paha saya kena sambar cambuk. Perih. Meninggalkan bilur biru kehitaman. Seminggu lebih tidak hilang.

Becak menemani dokar

becaks alatiga nurul azis

Becak Salatiga 2008 | © Foto: nurulazis.blogspot.com (dimuat tanpa meminta izin)

Baru pada 1970 becak masuk Salatiga. Cuma beberapa, tidak langsung secara massal. Mungkin tak sampai sepuluh. Ada dua hal yang saya kurang tahu. Pertama: dari manakah asal becak itu. Kedua: apakah penariknya, si tukang becak, juga dari luar kota.

Tentang asal, mestinya bisa dilihat pada desain. Spatbor mblenduk, sadel model sepeda, pastilah bukan becak gaya Pantura Barat. Mungkin dari Semarang. Tentang asal muasal penarik becak pertama, bagi saya menarik untuk dikatahui. Jika dia orang lokal, dan belum pernah mengayuh becak, berarti dia melakukan lompatan besar dalam hidupnya. Ini setara ajaibnya dengan pilot Indonesia pertama — bedanya pilot mengenal sekolah dan magang.

Dari manapun asal si becak dan tukang becaknya, ada satu hal yang belum saya ketahui: siapakah juragannya? Menjadi pemilik becak pertama, yang mungkin juga sekaligus penariknya, itu jelas menarik karena dia menjadi agen pembaruan di sebuah kota. Transportasi bukan hanya yang dihela oleh kuda, tetapi juga yang didorong, dengan kayuhan — tapi kenapa disebut “menarik becak” ya?

Masuknya becak ke Salatiga membuat anak-anak tak perlu mencicipi pengalaman di luar kota untuk membuktikan lagu Becak karya Ibu Soed. Kehadiran becak melengkapi pengalaman anak Salatiga terhadap lagu Naik Delman, “Pada hari Minggu kuturut Ayah ke kota…

Kehadiran becak juga membuktikan satu hal: topografi Salatiga yang memiliki tanjakan dan turunan bukan masalah. Bisa diatasi dengan jalan memutar, tapi kalau ketinggiannya keterlaluan, misalnya ke ABC atau Ngebul atau Damatex, ya tidak usah. Penumpang tahu dirilah.

Ojek: sepeda atau sepeda motor?

Saya tak tahu sejak kapan ojek ada. Dulu, tahun70-an, ketika saya masih bocah kata ojek saya kenal dari Kompas. Nama benda yang baru bagi saya. Yaitu sepeda yang mengantar jemput dengan bayaran di Pelabuhan Tanjungpriok dan kawasan Kota, pecinannya Jakarta.

Di kemudian hari ojek memang berupa motor, tapi di Kota masih ada ojek sepeda. Bahkan di sekitar Kota BNI (BNI City Complex), Jalan Sudirman, Jakarta, selama 1996-1998 sempat ada ojek sepeda. Tapi hanya orang bule yang dianggap pantas berojek ke Hotel Shangri-La. Saya? Dianggap sok nyentrik oleh hotel dan teman.

Saya menduga, ojek yang masuk Salatiga sudah berupa sepeda motor. Akhir 80-an sudah ada, biasanya mengantar orang kemalaman atau orang yang baru turun dari bus malam dan butuh segera tiba di rumah. Tapi tahun 70-an, seingat saya, Salatiga belum mengenal ojek. Meskipun begitu beberapa teman dari luar Salatiga, misalnya Asinan, sudah mengenal ojek motor. Mereka naik ojek dari rumah ke jalan raya dengan sepatu sekolah tetap dipakai tapi dibungkus tas kresek agar tak kena lumpur. Begitu buruknya kondisi jalan saat itu.

Gerobak atawa pedati

Dulu, ketika saya masih SD dan tinggal di Sinoman, gerobak Salatiga itu beroda besar. Jari-jari dari kayu, lingkar luar roda berbahan besi. Suaranya bergelodakan, terdengar dari jauh, berbarengan dengan suara klinthingan sapi. Orang bilang roda besi itu merusak aspal.

Gerobak dihela oleh dua sapi. Tak ada jok di dalamnya. Biasanya gerobak dipakai untuk mengangkut jerami, batu bata, dan pupuk kandang. Barang yang terakhir tidak mengundang minat anak-anak untuk menumpang.

Mulai akhr 70-an, gerobak beroda besar semakin jarang. Para juragan dan bajingan (harfiah = kusir gerobak) memilih roda kecil, bekas roda mobil, dengan ban karet. Kebisingan khas itu lenyap, tapi aspal tak mengelupas.

Kuda dan sapi

Untuk pengangkutan batu bata, sampai awal 70-an baik di Sinoman maupun Mangunsari, saya masih sering melihat itu dilakukan oleh kuda beban, dengan keranjang bambu tebal di kanan-kiri.  Kadang kuda itu tak sendirian tetapi berombongan dalam konvoi ala kafilah. Sering saya melamun, kenapa mereka tak menggunakan keledai atau bagal (hasil persilangan kuda dan keledai)? Rupanya saya terpegaruh oleh buku-buku cerita dari luar.

Tentang sapi? Sampai 1971 saya masih sering melihat rombongan sapi malam hari, jumlahnya bisa mencapai dua puluhan per kelompok. Dalams atu rombongan bisa terdiri atas empat kelompok bahkan lebih. Maklumlah saat itu jalan raya masih sepi, belum banyak mobil. Hanya truk dan bus malam membelah sepi malam.

Sapi-sapi itu menempuh perjalanan untuk dibawa ke pasar luar kota.  Koboinya membawa oncor. Setiap kali mereka melintas, tak sedikit keluarga yang rumahnya dilewati menjadikan mereka sebagai tontonan.

Untuk rombongan yang melewati Mangunsari (Jalan Osa Maliki), katanya sih sapi-sapi dari Tengaran bahkan Ampel. Untuk rombongan yang melewati Jalan Imam Bonjol, saya tak tahu asalnya, tapi dikabarkan akan dibawa ke Ambarawa. Padahal bisa saja sebelumnya mereka melewati Jalan Osa Maliki. 🙂

Maling dan perampok ternak

Sampai pertengahan 80-an saya masih mendengar kabar burung tentang kawanan pencuri bahkan perampok sapi. Benar tidaknya saya tidak tahu karena secara sekilas saya tak mendapatkan beritanya dari Suara Merdeka. Selalu ada bumbu mitos atau legenda dalam obrolan tentang kawanan maling ternak.

Seseorang mengatakan, di kacamatan anu itu yang ikut terlibat adalah tokoh masyarakat, misalnya guru sekolah. Dari satu dua mulut saya juga mendapatkan info tempat pemotongan (penyembelihan) gelap, tak berizin, untuk sapi ilegal. Saya tak mengeceknya karena belum bisa dan uang saku saya tidak cukup.

Tentang gegedug atau benggol maling ternak yang konon sakti, majalah Tempo pertengahan 80-an pernah menurunkan berita kriminal menarik. Dalam sebuah penyergapan di sebuah tempat sepi di lereng Gunung Merbabu, polisi dari Polres Salatiga sudah tahu rahasia kelemahan sang gegedug: di telapak kakinya. Titik itulah yang menjadi sasaran tembak. Raja maling bisa diringkus.

Tapi cerita itu hanya mengandalkan ingatan. Saya belum mengeceknya ke arsip PDAT.

Masih tentang kawanan maling ternak, pada pertengahan 1982, saat siskamling untuk pemilu (dulu wajib), saya berbaur dengan bapak-bapak dari kampung belakang rumah. Dari mereka saya mendapatkan cerita yang tak diungkapkan dengan kekaguman melainkan kekesalan, tentang laskar MMC (Merbabu-Merapi Complex, tahun 50-an).

Mereka itu, kata para orang tua, adalah perampok atau kècu yang merampasi sapi  penduduk pada malam hari, lantas meneruskan perjalanan dengan gagah. Bahkan kata seorang bapak, ada benggol MMC yang melenggang sambil menyuling. Romantis betul, dan semoga tidak tersandung.

From → Nostalgia

11 Komentar
  1. Jadi kangen Salatiga. Nunggu cerita berikut tentang, kali Gedong, Kali Taman, Muncul sampe Senjoyo 🙂

    • @Yusro: sebagai cah Njethis dan Kalioso, justru sampeyan yang harus lebih banyak bercerita 😀

  2. Penuturan yang menarik Paman. Nostalgia Jogja- Solo- Semarang, sebelum saya lahir, selalu romantis. Tulisan di atas berkisah di rentang sebelum saya lahir.

    Jadi ingin menulis tentang Solo- Sukoharjo- Wonogiri. Tapi, Wonogiri mungkin tidaklah seromantis Salatiga atau Semarang ya….

    Menarik Paman

  3. paman inget pencuri yang ahli ‘ngerong’ karena jaman dulu lantai masih tanah.. jadi cara pencuri masuk dengan menggali..

    • Fade: Itulah maling yang pintar nggangsir. Tetangga saya juga digangsir, dari bawah kusen pintu 🙂

  4. priyo wahyudi(yoyok) permalink

    aku jadi pingin naik dokar kota kelahiranku, yoyok palembang

  5. Lilik saputra permalink

    jadi ingat cerita bapak saya , dulu pemilik elteha(jasa pengiriman barang) dekat bioskop reksa theatre sebelum jadi boss truk mercy bhayangkara adalah juragan becak terbesar di salatiga. salah satu sopir bus(truk) bhayangkara itu adalah mbah kakung saya setelah pensiun dari kepolisian.
    Semoga bisa menambah cerita paman tentang becak di salatiga.

  6. ulfin permalink

    tolong informasi tempat pemotongan kuda. ada yang tau nggak? tolong informasinya ya…via email ulfinsmile@gmail.com

  7. Martwoto permalink

    Wah … skrg Salatiga tambah semrawut (mnrt pandangan saya) bangunan2 tinggi mulai banyak, tp tidak diimbangi dengan pertambahan jalan raya. Sehingga pertambahan kendaraan bermotor yg tinggi ikut menambah kemacetan, Bw lupakan itu … saya ingin cerita ; makan Soto di Garasi ‘ESTO’, sy melihat bangkai Bis ‘ESTO’, jd ingat ‘Kodok Ijo’ alias Bis ‘ESTO’ tempo dulu yang ikut meramaikan jalan di Salatiga, Ambarawa hingga Semarang.

  8. Di tahun 1970 an, ada satu buah dokar yang dihias sangat bagus, yaitu dokar sembir.

Tinggalkan Balasan ke ulfin Batalkan balasan